Wawasan Nusantara
Sejarah nama INDONESIA
PADA zaman purba kepulauan tanah air kita disebut dengan aneka nama. Dalam catatan bangsa Tionghoa kawasan kepulauan kita dinamai *Nan-hai* (Kepulauan Laut Selatan).Berbagai catatan kuno bangsa India menamai kepulauan ini *Dwipantara* Kepulauan Tanah Seberang), nama yang diturunkan dari kata Sansekerta *dwipa* (pulau) dan *antara* (luar, seberang).
Kisah Ramayana karya pujangga Valmiki yang termasyhur itu menceritakan pencarian terhadap Sinta, istri Rama yang diculik Ravana, sampai ke *Suwarnadwipa* (Pulau Emas, yaitu Sumatra sekarang) yang terletak di Kepulauan Dwipantara.
Bangsa Arab menyebut tanah air kita *Jaza’ir al-Jawi* (Kepulauan Jawa). Nama Latin untuk kemenyan adalah *benzoe*, berasal dari bahasa Arab *luban jawi*(kemenyan Jawa), sebab para pedagang Arab memperoleh kemenyan dari batang pohon *Styrax sumatrana* yang dahulu hanya tumbuh di Sumatra .
Sampai hari ini jemaah **** kita masih sering dipanggil “Jawa” oleh orang Arab. Bahkan orang Indonesia luar Jawa sekalipun. “Samathrah, Sholibis, Sundah, kulluh Jawi (Sumatra, Sulawesi , Sunda, semuanya Jawa)” kata seorang pedagang di Pasar Seng, Mekah.
Masa kedatangan Bangsa Eropa
Lalu tibalah zaman kedatangan orang Eropa ke Asia . Bangsa-bangsa Eropa yang pertama kali datang itu beranggapan bahwa Asia hanya terdiri dari Arab , Persia , India , dan Cina. Bagi mereka, daerah yang terbentang luas antara Persia dan Cina semuanya adalah Hindia”. Semenanjung Asia Selatan mereka sebut “Hindia Muka” dan daratan Asia Tenggara dinamai “Hindia Belakang”. Sedangkan tanah air kita memperoleh nama “Kepulauan Hindia” (*Indische Archipel, Indian Archipelago, l’Archipel Indien*) atau “Hindia Timur” *(Oost Indie, East Indies , Indes Orientales)* . Nama lain yang juga dipakai adalah “Kepulauan Melayu” (*Maleische Archipel, Malay Archipelago , l’Archipel Malais*).
Ketika tanah air kita terjajah oleh bangsa Belanda, nama resmi yang digunakan adalah *Nederlandsch- Indie* (Hindia Belanda), sedangkan pemerintah pendudukan Jepang 1942-1945 memakai istilah *To-Indo* (Hindia Timur).
Berbagai Usulan Nama
Eduard Douwes Dekker (1820-1887), yang dikenal dengan nama samaran Multatuli, pernah mengusulkan nama yang spesifik untuk menyebutkan kepulauan tanah air kita, yaitu Insulinde*, yang artinya juga “Kepulauan Hindia” (bahasa Latin *insula* berarti pulau).
Eduard Douwes Dekker
Tetapi rupanya nama *Insulinde* ini kurang populer. Bagi orang Bandung , *Insulinde* mungkin cuma dikenal sebagai nama toko buku yang pernah ada di Jalan Otista.
Pada tahun 1920-an, Ernest Francois Eugene Douwes Dekker (1879-1950), yang kita kenal sebagai Dr. Setiabudi (beliau adalah cucu dari adik Multatuli), memopulerkan suatu nama untuk tanah air kita yang tidak mengandung unsur kata “ India ”. Nama itu tiada lain adalah Nusantara, suatu istilah yang telah tenggelam berabad-abad lamanya.
Setiabudi mengambil nama itu dari Pararaton, naskah kuno zaman Majapahit yang ditemukan di Bali pada akhir abad ke-19 Lalu diterjemahkan oleh J.L.A. Brandes dan diterbitkan oleh Nicholaas Johannes Krom pada tahun 1920.
Namun perlu dicatat bahwa pengertian Nusantara yang diusulkan Setiabudi jauh berbeda dengan pengertian, nusantara zaman Majapahit. Pada masa Majapahit Nusantara digunakan untuk menyebutkan pulau-pulau di luar Jawa (antara dalam bahasa Sansekerta artinya luar, seberang) sebagai lawan dari *Jawadwipa*( Pulau Jawa).
Kita tentu pernah mendengar Sumpah Palapa dari Gajah Mada, *”Lamun huwus kalah nusantara, isun amukti palapa” *(Jika telah kalah pulau-pulau seberang, barulah saya menikmati istirahat). Oleh Dr. Setiabudi kata nusantara zaman Majapahit yang berkonotasi jahiliyah itu diberi pengertian yang nasionalistis.
Dengan mengambil kata Melayu asli antara, maka Nusantara kini memiliki arti yang baru yaitu “nusa di antara dua benua dan dua samudra”, sehingga Jawa pun termasuk dalam definisi nusantara yang modern.
Istilah nusantara dari Setiabudi ini dengan cepat menjadi populer penggunaannya sebagai alternatif dari nama Hindia Belanda. Sampai hari ini istilah nusantara tetap kita pakai untuk menyebutkan wilayah tanah air kita dari Sabang sampai Merauke. Tetapi nama resmi bangsa dan negara kita adalah Indonesia . Kini akan kita telusuri dari mana gerangan nama yang sukar bagi lidah Melayu ini muncul.
Nama Indonesia
Pada tahun 1847 di Singapura terbit sebuah majalah ilmiah tahunan, *Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia * (JIAEA), yang dikelola oleh James Richardson Logan (1819-1869), orang Skotlandia yang meraih sarjana hukum dari Universitas Edinburgh. Kemudian pada tahun 1849 seorang ahli etnologi bangsa Inggris, George Samuel Windsor Earl (1813-1865),menggabungkan diri sebagai redaksi majalah JIAEA.
James Richardson Logan
Dalam JIAEA Volume IV tahun 1850, halaman 66-74, Earl menulis artikel *On the Leading Characteristics of the Papuan, Australian and Malay-Polynesian Nations*. Dalam artikelnya itu Earl menegaskan bahwa sudah tiba saatnya bagi penduduk Kepulauan Hindia atau Kepulauan Melayu untuk memiliki nama khas (*a distinctive name*), sebab nama Hindia Tidaklah tepat dan sering rancu dengan penyebutan India yang lain. Earl mengajukan dua pilihan nama: *Indunesia*atau *Malayunesia* (*nesos* dalam bahasa Yunani berarti Pulau).
Pada halaman 71 artikelnya itu tertulis: *… the inhabitants of the Indian Archipelago or malayan Archipelago would become respectively Indunesians or Malayunesians.*
Earl sendiri menyatakan memilih nama *Malayunesia* (Kepulauan Melayu) daripada *Indunesia* (Kepulauan Hindia), sebab *Malayunesia* sangat tepat untuk ras Melayu, sedangkan *Indunesia* bisa juga digunakan untuk Ceylon (Srilanka) dan Maldives (Maladewa). Lagi pula, kata Earl, bukankah bahasa Melayu dipakai di seluruh kepulauan ini? Dalam tulisannya itu Earl memang menggunakan istilah *Malayunesia* dan tidak memakai istilah *Indunesia*. Dalam JIAEA Volume IV itu juga, halaman 252-347, James Richardson Logan menulis artikel *The Ethnology of the Indian Archipelago. * Pada awal tulisannya, Logan pun menyatakan perlunya nama khas bagi kepulauan tanahair kita, sebab istilah “Indian Archipelago” terlalu panjang dan membingungkan.
Logan memungut nama *Indunesia* yang dibuang Earl, dan huruf u digantinya dengan huruf o agar ucapannya lebih baik. Maka lahirlah istilah Indonesia.
Untuk pertama kalinya kata Indonesia muncul di dunia dengan tercetak pada halaman 254 dalam tulisan Logan : *Mr. Earl suggests the ethnographical term Indunesian, but rejects it in favour of Malayunesian. I prefer the purely geographical term Indonesia , which is merely a shorter synonym for the Indian Islands or the Indian Archipelago. * Ketika mengusulkan nama “ Indonesia ” agaknya Logan tidak menyadari bahwa di kemudian hari nama itu akan menjadi nama bangsa dan negara yang jumlah penduduknya peringkat keempat terbesar di muka bumi!
Sejak saat itu Logan secara konsisten menggunakan nama “ Indonesia ” dalam tulisan-tulisan ilmiahnya, dan lambat laun pemakaian istilah ini menyebar di kalangan para ilmuwan bidang etnologi dan geografi. Pada tahun 1884 guru besar etnologi di Universitas Berlin yang bernama Adolf Bastian (1826-1905) menerbitkan buku *Indonesien oder die Inseln des Malayischen Archipel* sebanyak lima volume, yang memuat hasil penelitiannya ketika mengembara ke tanah air kita tahun 1864 sampai 1880.
Buku Bastian inilah yang memopulerkan istilah “Indonesia” di kalangan sarjana Belanda, sehingga sempat timbul anggapan bahwa istilah “Indonesia” itu ciptaan Bastian. Pendapat yang tidak benar itu, antara lain tercantum dalam *Encyclopedie van Nederlandsch-Indie*tahun 1918.
Padahal Bastian mengambil istilah “ Indonesia ” itu dari tulisan-tulisan Logan. Putra ibu pertiwi yang mula-mula menggunakan istilah “ Indonesia ” adalah Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara). Ketika di buang ke negeri Belanda tahun 1913 beliau mendirikan sebuah biro pers dengan nama *Indonesische Pers-bureau. *
Masa Kebangkitan Nasional
Makna politis
Pada dasawarsa 1920-an, nama “ Indonesia ” yang merupakan istilah ilmiah dalam etnologi dan geografi itu diambil alih oleh tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan tanah air kita, sehingga nama “ Indonesia ” akhirnya memiliki makna politis, yaitu identitas suatu bangsa yang memperjuangkan kemerdekaan! Akibatnya pemerintah Belanda mulai curiga dan waspada terhadap pemakaian kata ciptaan Logan itu. Pada tahun 1922 atas inisiatif Mohammad Hatta, seorang mahasiswa *Handels Hoogeschool* (Sekolah Tinggi Ekonomi) di Rotterdam , organisasi pelajar dan mahasiswa Hindia di Negeri Belanda (yang terbentuk tahun 1908 dengan nama *Indische Vereeniging* ) berubah nama menjadi *Indonesische Vereeniging* atau Perhimpoenan Indonesia . Majalah mereka, Hindia Poetra, berganti nama menjadi Indonesia Merdeka.
Bung Hatta
Bung Hatta menegaskan dalam tulisannya, “Negara Indonesia Merdeka yang akan datang (*de toekomstige vrije Indonesische staat*) mustahil disebut “Hindia Belanda”. Juga tidak “Hindia” saja, sebab dapat menimbulkan kekeliruan dengan India yang asli.
Bagi kami nama Indonesia menyatakan suatu tujuan politik (*een politiek doel*), karena melambangkan dan mencita-citakan suatu tanah air di masa depan, dan untuk mewujudkannya tiap orang Indonesia (*Indonesier*) akan berusaha dengan segala tenaga dan kemampuannya. “ Sementara itu, di tanah air Dr. Sutomo mendirikan *Indonesische Studie Club*pada tahun 1924. Tahun itu juga Perserikatan Komunis Hindia berganti nama menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI). Lalu pada tahun 1925 *Jong Islamieten Bond* membentuk kepanduan *Nationaal Indonesische Padvinderij* (Natipij).
Itulah tiga organisasi di tanah air yang mula-mula menggunakan nama “ Indonesia ”. Akhirnya nama “ Indonesia ” dinobatkan sebagai nama tanah air, bangsa dan bahasa kita pada Kerapatan Pemoeda-Pemoedi Indonesia tanggal 28 Oktober 1928, yang kini kita sebut Sumpah Pemuda. Pada bulan Agustus 1939 tiga orang anggota *Volksraad* (Dewan Rakyat; DPR zaman Belanda), Muhammad Husni Thamrin, Wiwoho Purbohadidjojo, dan Sutardji Kartohadikusumo, mengajukan mosi kepada Pemerintah Belanda agar nama “Indonesia” diresmikan sebagai pengganti nama “Nederlandsch- Indie”.
Kongres Pemuda
Tetapi Belanda keras kepala sehingga mosi ini ditolak mentah-mentah. Maka kehendak Allah pun berlaku. Dengan jatuhnya tanah air kita ke tangan Jepang pada tanggal 8 Maret 1942, lenyaplah nama “Hindia Belanda” untuk selama-lamanya. Lalu pada tanggal 17 Agustus 1945, atas berkat rahmat Allah Yang Mahakuasa, lahirlah Republik Indonesia.
Sejarah nama INDONESIA
Sebelum kedatangan bangsa Eropa
PADA zaman purba kepulauan tanah air kita disebut dengan aneka nama. Dalam catatan bangsa Tionghoa kawasan kepulauan kita dinamai *Nan-hai* (Kepulauan Laut Selatan).Berbagai catatan kuno bangsa India menamai kepulauan ini *Dwipantara* Kepulauan Tanah Seberang), nama yang diturunkan dari kata Sansekerta *dwipa* (pulau) dan *antara* (luar, seberang).
Kisah Ramayana karya pujangga Valmiki yang termasyhur itu menceritakan pencarian terhadap Sinta, istri Rama yang diculik Ravana, sampai ke *Suwarnadwipa* (Pulau Emas, yaitu Sumatra sekarang) yang terletak di Kepulauan Dwipantara.
Bangsa Arab menyebut tanah air kita *Jaza’ir al-Jawi* (Kepulauan Jawa). Nama Latin untuk kemenyan adalah *benzoe*, berasal dari bahasa Arab *luban jawi*(kemenyan Jawa), sebab para pedagang Arab memperoleh kemenyan dari batang pohon *Styrax sumatrana* yang dahulu hanya tumbuh di Sumatra .
Sampai hari ini jemaah **** kita masih sering dipanggil “Jawa” oleh orang Arab. Bahkan orang Indonesia luar Jawa sekalipun. “Samathrah, Sholibis, Sundah, kulluh Jawi (Sumatra, Sulawesi , Sunda, semuanya Jawa)” kata seorang pedagang di Pasar Seng, Mekah.
Masa kedatangan Bangsa Eropa
Lalu tibalah zaman kedatangan orang Eropa ke Asia . Bangsa-bangsa Eropa yang pertama kali datang itu beranggapan bahwa Asia hanya terdiri dari Arab , Persia , India , dan Cina. Bagi mereka, daerah yang terbentang luas antara Persia dan Cina semuanya adalah Hindia”. Semenanjung Asia Selatan mereka sebut “Hindia Muka” dan daratan Asia Tenggara dinamai “Hindia Belakang”. Sedangkan tanah air kita memperoleh nama “Kepulauan Hindia” (*Indische Archipel, Indian Archipelago, l’Archipel Indien*) atau “Hindia Timur” *(Oost Indie, East Indies , Indes Orientales)* . Nama lain yang juga dipakai adalah “Kepulauan Melayu” (*Maleische Archipel, Malay Archipelago , l’Archipel Malais*).
Ketika tanah air kita terjajah oleh bangsa Belanda, nama resmi yang digunakan adalah *Nederlandsch- Indie* (Hindia Belanda), sedangkan pemerintah pendudukan Jepang 1942-1945 memakai istilah *To-Indo* (Hindia Timur).
Berbagai Usulan Nama
Eduard Douwes Dekker (1820-1887), yang dikenal dengan nama samaran Multatuli, pernah mengusulkan nama yang spesifik untuk menyebutkan kepulauan tanah air kita, yaitu Insulinde*, yang artinya juga “Kepulauan Hindia” (bahasa Latin *insula* berarti pulau).
Eduard Douwes Dekker
Tetapi rupanya nama *Insulinde* ini kurang populer. Bagi orang Bandung , *Insulinde* mungkin cuma dikenal sebagai nama toko buku yang pernah ada di Jalan Otista.
Pada tahun 1920-an, Ernest Francois Eugene Douwes Dekker (1879-1950), yang kita kenal sebagai Dr. Setiabudi (beliau adalah cucu dari adik Multatuli), memopulerkan suatu nama untuk tanah air kita yang tidak mengandung unsur kata “ India ”. Nama itu tiada lain adalah Nusantara, suatu istilah yang telah tenggelam berabad-abad lamanya.
Setiabudi mengambil nama itu dari Pararaton, naskah kuno zaman Majapahit yang ditemukan di Bali pada akhir abad ke-19 Lalu diterjemahkan oleh J.L.A. Brandes dan diterbitkan oleh Nicholaas Johannes Krom pada tahun 1920.
Namun perlu dicatat bahwa pengertian Nusantara yang diusulkan Setiabudi jauh berbeda dengan pengertian, nusantara zaman Majapahit. Pada masa Majapahit Nusantara digunakan untuk menyebutkan pulau-pulau di luar Jawa (antara dalam bahasa Sansekerta artinya luar, seberang) sebagai lawan dari *Jawadwipa*( Pulau Jawa).
Kita tentu pernah mendengar Sumpah Palapa dari Gajah Mada, *”Lamun huwus kalah nusantara, isun amukti palapa” *(Jika telah kalah pulau-pulau seberang, barulah saya menikmati istirahat). Oleh Dr. Setiabudi kata nusantara zaman Majapahit yang berkonotasi jahiliyah itu diberi pengertian yang nasionalistis.
Dengan mengambil kata Melayu asli antara, maka Nusantara kini memiliki arti yang baru yaitu “nusa di antara dua benua dan dua samudra”, sehingga Jawa pun termasuk dalam definisi nusantara yang modern.
Istilah nusantara dari Setiabudi ini dengan cepat menjadi populer penggunaannya sebagai alternatif dari nama Hindia Belanda. Sampai hari ini istilah nusantara tetap kita pakai untuk menyebutkan wilayah tanah air kita dari Sabang sampai Merauke. Tetapi nama resmi bangsa dan negara kita adalah Indonesia . Kini akan kita telusuri dari mana gerangan nama yang sukar bagi lidah Melayu ini muncul.
Nama Indonesia
Pada tahun 1847 di Singapura terbit sebuah majalah ilmiah tahunan, *Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia * (JIAEA), yang dikelola oleh James Richardson Logan (1819-1869), orang Skotlandia yang meraih sarjana hukum dari Universitas Edinburgh. Kemudian pada tahun 1849 seorang ahli etnologi bangsa Inggris, George Samuel Windsor Earl (1813-1865),menggabungkan diri sebagai redaksi majalah JIAEA.
James Richardson Logan
Dalam JIAEA Volume IV tahun 1850, halaman 66-74, Earl menulis artikel *On the Leading Characteristics of the Papuan, Australian and Malay-Polynesian Nations*. Dalam artikelnya itu Earl menegaskan bahwa sudah tiba saatnya bagi penduduk Kepulauan Hindia atau Kepulauan Melayu untuk memiliki nama khas (*a distinctive name*), sebab nama Hindia Tidaklah tepat dan sering rancu dengan penyebutan India yang lain. Earl mengajukan dua pilihan nama: *Indunesia*atau *Malayunesia* (*nesos* dalam bahasa Yunani berarti Pulau).
Pada halaman 71 artikelnya itu tertulis: *… the inhabitants of the Indian Archipelago or malayan Archipelago would become respectively Indunesians or Malayunesians.*
Earl sendiri menyatakan memilih nama *Malayunesia* (Kepulauan Melayu) daripada *Indunesia* (Kepulauan Hindia), sebab *Malayunesia* sangat tepat untuk ras Melayu, sedangkan *Indunesia* bisa juga digunakan untuk Ceylon (Srilanka) dan Maldives (Maladewa). Lagi pula, kata Earl, bukankah bahasa Melayu dipakai di seluruh kepulauan ini? Dalam tulisannya itu Earl memang menggunakan istilah *Malayunesia* dan tidak memakai istilah *Indunesia*. Dalam JIAEA Volume IV itu juga, halaman 252-347, James Richardson Logan menulis artikel *The Ethnology of the Indian Archipelago. * Pada awal tulisannya, Logan pun menyatakan perlunya nama khas bagi kepulauan tanahair kita, sebab istilah “Indian Archipelago” terlalu panjang dan membingungkan.
Logan memungut nama *Indunesia* yang dibuang Earl, dan huruf u digantinya dengan huruf o agar ucapannya lebih baik. Maka lahirlah istilah Indonesia.
Untuk pertama kalinya kata Indonesia muncul di dunia dengan tercetak pada halaman 254 dalam tulisan Logan : *Mr. Earl suggests the ethnographical term Indunesian, but rejects it in favour of Malayunesian. I prefer the purely geographical term Indonesia , which is merely a shorter synonym for the Indian Islands or the Indian Archipelago. * Ketika mengusulkan nama “ Indonesia ” agaknya Logan tidak menyadari bahwa di kemudian hari nama itu akan menjadi nama bangsa dan negara yang jumlah penduduknya peringkat keempat terbesar di muka bumi!
Sejak saat itu Logan secara konsisten menggunakan nama “ Indonesia ” dalam tulisan-tulisan ilmiahnya, dan lambat laun pemakaian istilah ini menyebar di kalangan para ilmuwan bidang etnologi dan geografi. Pada tahun 1884 guru besar etnologi di Universitas Berlin yang bernama Adolf Bastian (1826-1905) menerbitkan buku *Indonesien oder die Inseln des Malayischen Archipel* sebanyak lima volume, yang memuat hasil penelitiannya ketika mengembara ke tanah air kita tahun 1864 sampai 1880.
Buku Bastian inilah yang memopulerkan istilah “Indonesia” di kalangan sarjana Belanda, sehingga sempat timbul anggapan bahwa istilah “Indonesia” itu ciptaan Bastian. Pendapat yang tidak benar itu, antara lain tercantum dalam *Encyclopedie van Nederlandsch-Indie*tahun 1918.
Padahal Bastian mengambil istilah “ Indonesia ” itu dari tulisan-tulisan Logan. Putra ibu pertiwi yang mula-mula menggunakan istilah “ Indonesia ” adalah Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara). Ketika di buang ke negeri Belanda tahun 1913 beliau mendirikan sebuah biro pers dengan nama *Indonesische Pers-bureau. *
Masa Kebangkitan Nasional
Makna politis
Pada dasawarsa 1920-an, nama “ Indonesia ” yang merupakan istilah ilmiah dalam etnologi dan geografi itu diambil alih oleh tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan tanah air kita, sehingga nama “ Indonesia ” akhirnya memiliki makna politis, yaitu identitas suatu bangsa yang memperjuangkan kemerdekaan! Akibatnya pemerintah Belanda mulai curiga dan waspada terhadap pemakaian kata ciptaan Logan itu. Pada tahun 1922 atas inisiatif Mohammad Hatta, seorang mahasiswa *Handels Hoogeschool* (Sekolah Tinggi Ekonomi) di Rotterdam , organisasi pelajar dan mahasiswa Hindia di Negeri Belanda (yang terbentuk tahun 1908 dengan nama *Indische Vereeniging* ) berubah nama menjadi *Indonesische Vereeniging* atau Perhimpoenan Indonesia . Majalah mereka, Hindia Poetra, berganti nama menjadi Indonesia Merdeka.
Bung Hatta
Bung Hatta menegaskan dalam tulisannya, “Negara Indonesia Merdeka yang akan datang (*de toekomstige vrije Indonesische staat*) mustahil disebut “Hindia Belanda”. Juga tidak “Hindia” saja, sebab dapat menimbulkan kekeliruan dengan India yang asli.
Bagi kami nama Indonesia menyatakan suatu tujuan politik (*een politiek doel*), karena melambangkan dan mencita-citakan suatu tanah air di masa depan, dan untuk mewujudkannya tiap orang Indonesia (*Indonesier*) akan berusaha dengan segala tenaga dan kemampuannya. “ Sementara itu, di tanah air Dr. Sutomo mendirikan *Indonesische Studie Club*pada tahun 1924. Tahun itu juga Perserikatan Komunis Hindia berganti nama menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI). Lalu pada tahun 1925 *Jong Islamieten Bond* membentuk kepanduan *Nationaal Indonesische Padvinderij* (Natipij).
Itulah tiga organisasi di tanah air yang mula-mula menggunakan nama “ Indonesia ”. Akhirnya nama “ Indonesia ” dinobatkan sebagai nama tanah air, bangsa dan bahasa kita pada Kerapatan Pemoeda-Pemoedi Indonesia tanggal 28 Oktober 1928, yang kini kita sebut Sumpah Pemuda. Pada bulan Agustus 1939 tiga orang anggota *Volksraad* (Dewan Rakyat; DPR zaman Belanda), Muhammad Husni Thamrin, Wiwoho Purbohadidjojo, dan Sutardji Kartohadikusumo, mengajukan mosi kepada Pemerintah Belanda agar nama “Indonesia” diresmikan sebagai pengganti nama “Nederlandsch- Indie”.
Kongres Pemuda
Tetapi Belanda keras kepala sehingga mosi ini ditolak mentah-mentah. Maka kehendak Allah pun berlaku. Dengan jatuhnya tanah air kita ke tangan Jepang pada tanggal 8 Maret 1942, lenyaplah nama “Hindia Belanda” untuk selama-lamanya. Lalu pada tanggal 17 Agustus 1945, atas berkat rahmat Allah Yang Mahakuasa, lahirlah Republik Indonesia.
Tentang Garuda Pancasila (1)
Oleh Herawati Sikumbang (12 Juni 2009)
Burung garuda merupakan mitos dalam mitologi Hindu dan Budha. Garuda dalam mitos digambarkan sebagai makhluk separuh burung (sayap, paruh, cakar) dan separuh manusia (tangan dan kaki). Lambang garuda diambil dari penggambaran kendaraan Batara Wisnu yakni garudeya. Garudeya itu sendiri dapat kita temui pada salah satu pahatan di Candi Kidal yang terletak di Kabupaten Malang tepatnya: Desa Rejokidal, Kecamatan Tumpang, Kabupaten Malang, Jawa Timur.
Garuda sebagai lambang negara menggambarkan kekuatan dan kekuasaan dan warna emas melambangkan kejayaan, karena peran garuda dalam cerita pewayangan Mahabharata dan Ramayana. Posisi kepala garuda menengok lurus ke kanan.
Jumlah bulu melambangkan hari proklamasi kemerdekaan Indonesia (17 Agustus 1945), antara lain:
- Jumlah bulu pada masing-masing sayap berjumlah 17
- Jumlah bulu pada ekor berjumlah 8
- Jumlah bulu di bawah perisai/pangkal ekor berjumlah 19
- Jumlah bulu di leher berjumlah 45
Perisai
Perisai merupakan lambang pertahanan negara Indonesia. Gambar perisai tersebut dibagi menjadi lima bagian: bagian latar belakang dibagi menjadi empat dengan warna merah putih berselang seling (warna merah-putih melambangkan warna bendera nasional Indonesia, merah berarti berani dan putih berarti suci), dan sebuah perisai kecil miniatur dari perisai yang besar berwarna hitam berada tepat di tengah-tengah. Garis lurus horizontal yang membagi perisai tersebut menggambarkan garis khatulistiwa yang tepat melintasi Indonesia di tengah-tengah.
Emblem
Setiap gambar emblem yang terdapat pada perisai berhubungan dengan simbol dari sila Pancasila.
Bintang Tunggal
Sila ke-1: Ketuhanan Yang Maha Esa. Perisai hitam dengan sebuah bintang emas berkepala lima menggambarkan agama-agama besar di Indonesia, Islam, Kristen, Hindu, Buddha, dan juga ideologi sekuler sosialisme.
Rantai Emas
Sila ke-2: Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab. Rantai yang disusun atas gelang-gelang kecil ini menandakan hubungan manusia satu dengan yang lainnya yang saling membantu. Gelang yang lingkaran menggambarkan wanita, gelang yang persegi menggambarkan pria.
Pohon Beringin
Sila ke-3: Persatuan Indonesia. Pohon beringin (Ficus benjamina) adalah sebuah pohon Indonesia yang berakar tunjang - sebuah akar tunggal panjang yang menunjang pohon yang besar tersebut dengan bertumbuh sangat dalam ke dalam tanah. Ini menggambarkan kesatuan Indonesia. Pohon ini juga memiliki banyak akar yang menggelantung dari ranting-rantingnya. Hal ini menggambarkan Indonesia sebagai negara kesatuan namun memiliki berbagai akar budaya yang berbeda-beda.
Kepala Banteng
Sila ke-4: Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan/Perwakilan. Binatang banteng (Latin: Bos javanicus) atau lembu liar adalah binatang sosial, sama halnya dengan manusia cetusan Presiden Soekarno dimana pengambilan keputusan yang dilakukan bersama (musyawarah), gotong royong, dan kekeluargaan merupakan nilai-nilai khas bangsa Indonesia.
Padi Kapas
Sila ke-5: Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Padi dan kapas (yang menggambarkan sandang dan pangan) merupakan kebutuhan pokok setiap masyarakat Indonesia tanpa melihat status maupun kedudukannya. Hal ini menggambarkan persamaan sosial dimana tidak adanya kesenjangan sosial satu dengan yang lainnya, namun hal ini bukan berarti bahwa negara Indonesia memakai ideologi komunisme.
Motto
Pita yang dicengkeram oleh burung garuda bertuliskan semboyan negara Indonesia, yaitu Bhinneka Tunggal Ika. Bhinneka Tunggal Ika berasal dari kalimat bahasa Jawa Kuno karangan Mpu Tantular yang berarti “Walaupun berbeda-beda tetapi tetap satu” yang menggambarkan keadaan bangsa Indonesia yang terdiri atas beraneka ragam suku, budaya, adat-istiadat, kepercayaan, namun tetap adalah satu bangsa, bahasa, dan tanah air.
Sumber:
- http://id.wikipedia.org/wiki/Garuda-Pancasila
- http://id.wikipedia.org/wiki/Garuda
- http://id.wikipedia.org/lambang Indonesia
- http://ichsany.wordpress.com
Tentang Garuda Pancasila (2)
Makna Warna Pada Bendera Merah Putih
Lambang negara Indonesia adalah Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Lambang negara Indonesia berbentuk burung Garuda yang kepalanya menoleh ke sebelah kanan (dari sudut pandang Garuda), perisai berbentuk menyerupai jantung yang digantung dengan rantai pada leher Garuda, dan semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang berarti “Berbeda-beda tetapi tetap satu” ditulis di atas pita yang dicengkeram oleh Garuda. Lambang ini dirancang oleh Sultan Hamid II dari Pontianak, yang kemudian disempurnakan oleh Presiden Soekarno, dan diresmikan pemakaiannya sebagai lambang negara pertama kali pada Sidang Kabinet Republik Indonesia Serikat tanggal 11 Februari 1950. Lambang negara Garuda Pancasila diatur penggunaannya dalam Peraturan Pemerintah No. 43/1958.
Sejarah
Garuda, kendaraan (wahana) Wishnu tampil di berbagai candi kuno di Indonesia, seperti Prambanan, Mendut, Sojiwan, Penataran, Belahan, Sukuh dan Cetho dalam bentuk relief atau arca. Di Prambanan terdapat sebuah candi di muka candi Wishnu yang dipersembahkan untuk Garuda, akan tetapi tidak ditemukan arca Garuda di dalamnya. Di candi Siwa Prambanan terdapat relief episode Ramayana yang menggambarkan keponakan Garuda yang juga bangsa dewa burung, Jatayu, mencoba menyelamatkan Sinta dari cengkeraman Rahwana. Arca anumerta Airlangga yang digambarkan sebagai Wishnu tengah mengendarai Garuda dari Candi Belahan mungkin adalah arca Garuda Jawa Kuna paling terkenal, kini arca ini disimpan di Museum Trowulan.
Garuda muncul dalam berbagai kisah, terutama di Jawa dan Bali. Dalam banyak kisah Garuda melambangkan kebajikan, pengetahuan, kekuatan, keberanian, kesetiaan, dan disiplin. Sebagai kendaraan Wishnu, Garuda juga memiliki sifat Wishnu sebagai pemelihara dan penjaga tatanan alam semesta. Dalam tradisi Bali, Garuda dimuliakan sebagai "Tuan segala makhluk yang dapat terbang" dan "Raja agung para burung". Di Bali ia biasanya digambarkan sebagai makhluk yang memiliki kepala, paruh, sayap, dan cakar elang, tetapi memiliki tubuh dan lengan manusia. Biasanya digambarkan dalam ukiran yang halus dan rumit dengan warna cerah keemasan, digambarkan dalam posisi sebagai kendaraan Wishnu, atau dalam adegan pertempuran melawan Naga. Posisi mulia Garuda dalam tradisi Indonesia sejak zaman kuna telah menjadikan Garuda sebagai simbol nasional Indonesia, sebagai perwujudan ideologi Pancasila. Garuda juga dipilih sebagai nama maskapai penerbangan nasional Indonesia Garuda Indonesia. Selain Indonesia, Thailand juga menggunakan Garuda sebagai lambang negara.
Setelah Perang Kemerdekaan Indonesia 1945-1949, disusul pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda melalui Konferensi Meja Bundar pada tahun 1949, dirasakan perlunya Indonesia (saat itu Republik Indonesia Serikat) memiliki lambang negara. Tanggal 10 Januari 1950 dibentuk Panitia Teknis dengan nama Panitia Lencana Negara di bawah koordinator Menteri Negara Zonder Porto Folio Sultan Hamid II dengan susunan panitia teknis Muhammad Yamin sebagai ketua, Ki Hajar Dewantoro, M A Pellaupessy, Moh Natsir, dan RM Ng Poerbatjaraka sebagai anggota. Panitia ini bertugas menyeleksi usulan rancangan lambang negara untuk dipilih dan diajukan kepada pemerintah
Merujuk keterangan Bung Hatta dalam buku “Bung Hatta Menjawab” untuk melaksanakan Keputusan Sidang Kabinet tersebut Menteri Priyono melaksanakan sayembara. Terpilih dua rancangan lambang negara terbaik, yaitu karya Sultan Hamid II dan karya M Yamin. Pada proses selanjutnya yang diterima pemerintah dan DPR adalah rancangan Sultan Hamid II. Karya M. Yamin ditolak karena menyertakan sinar-sinar matahari yang menampakkan pengaruh Jepang.
Setelah rancangan terpilih, dialog intensif antara perancang (Sultan Hamid II), Presiden RIS Soekarno dan Perdana Menteri Mohammad Hatta, terus dilakukan untuk keperluan penyempurnaan rancangan itu. Mereka bertiga sepakat mengganti pita yang dicengkeram Garuda, yang semula adalah pita merah putih menjadi pita putih dengan menambahkan semboyan "Bhineka Tunggal Ika".Tanggal 8 Februari 1950, rancangan lambang negara yang dibuat Menteri Negara RIS, Sultan Hamid II diajukan kepada Presiden Soekarno. Rancangan lambang negara tersebut mendapat masukan dari Partai Masyumi untuk dipertimbangkan kembali, karena adanya keberatan terhadap gambar burung Garuda dengan tangan dan bahu manusia yang memegang perisai dan dianggap terlalu bersifat mitologis.
Sultan Hamid II kembali mengajukan rancangan gambar lambang negara yang telah disempurnakan berdasarkan aspirasi yang berkembang, sehingga tercipta bentuk Rajawali-Garuda Pancasila. Disingkat Garuda Pancasila. Presiden Soekarno kemudian menyerahkan rancangan tersebut kepada Kabinet RIS melalui Moh Hatta sebagai perdana menteri. AG Pringgodigdo dalam bukunya “Sekitar Pancasila” terbitan Dep Hankam, Pusat Sejarah ABRI menyebutkan, rancangan lambang negara karya Sultan Hamid II akhirnya diresmikan pemakaiannya dalam Sidang Kabinet RIS pada tanggal 11 Februari 1950.Ketika itu gambar bentuk kepala Rajawali Garuda Pancasila masih "gundul" dan tidak berjambul seperti bentuk sekarang ini. Presiden Soekarno kemudian memperkenalkan untuk pertama kalinya lambang negara itu kepada khalayak umum di Hotel Des Indes Jakarta pada 15 Februari 1950.
Soekarno terus memperbaiki bentuk Garuda Pancasila. Pada tanggal 20 Maret 1950 Soekarno memerintahkan pelukis istana, Dullah, melukis kembali rancangan tersebut; setelah sebelumnya diperbaiki antara lain penambahan "jambul" pada kepala Garuda Pancasila, serta mengubah posisi cakar kaki yang mencengkram pita dari semula di belakang pita menjadi di depan pita, atas masukan Presiden Soekarno. Dipercaya bahwa alasan Soekarno menambahkan jambul karena kepala Garuda gundul dianggap terlalu mirip dengan Bald Eagle, Lambang Amerika Serikat.Untuk terakhir kalinya, Sultan Hamid II menyelesaikan penyempurnaan bentuk final gambar lambang negara, yaitu dengan menambah skala ukuran dan tata warna gambar lambang negara. Rancangan Garuda Pancasila terakhir ini dibuatkan patung besar dari bahan perunggu berlapis emas yang disimpan dalam Ruang Kemerdekaan Monumen Nasional sebagai acuan, ditetapkan sebagai lambang negara Republik Indonesia, dan desainnya tidak berubah hingga kini.
Deskripsi dan arti filosofi
Garuda
- Garuda Pancasila sendiri adalah burung Garuda yang sudah dikenal melalui mitologi kuno dalam sejarah bangsa Indonesia, yaitu kendaraan Wishnu yang menyerupai burung elang rajawali. Garuda digunakan sebagai Lambang Negara untuk menggambarkan bahwa Indonesia adalah bangsa yang besar dan negara yang kuat.
- Warna keemasan pada burung Garuda melambangkan keagungan dan kejayaan.
- Garuda memiliki paruh, sayap, ekor, dan cakar yang melambangkan kekuatan dan tenaga pembangunan.
- Jumlah bulu Garuda Pancasila melambangkan hari proklamasi kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, antara lain:
- 17 helai bulu pada masing-masing sayap
- 8 helai bulu pada ekor
- 19 helai bulu di bawah perisai atau pada pangkal ekor
- 45 helai bulu di leher
Perisai
- Perisai adalah tameng yang telah lama dikenal dalam kebudayaan dan peradaban Indonesia sebagai bagian senjata yang melambangkan perjuangan, pertahanan, dan perlindungan diri untuk mencapai tujuan.
- Di tengah-tengah perisai terdapat sebuah garis hitam tebal yang melukiskan garis khatulistiwa yang menggambarkan lokasi Negara Kesatuan Republik Indonesia, yaitu negara tropis yang dilintasi garis khatulistiwa membentang dari timur ke barat.
- Warna dasar pada ruang perisai adalah warna bendera kebangsaan Indonesia "merah-putih". Sedangkan pada bagian tengahnya berwarna dasar hitam.
- Pada perisai terdapat lima buah ruang yang mewujudkan dasar negara Pancasila. Pengaturan lambang pada ruang perisai adalah sebagai berikut:
- Sila Pertama: Ketuhanan Yang Maha Esa dilambangkan dengan cahaya di bagian tengah perisai berbentuk bintang yang bersudut lima berlatar hitam;
- Sila Kedua: Kemanusiaan yang Adil dan Beradab dilambangkan dengan tali rantai bermata bulatan dan persegi di bagian kiri bawah perisai berlatar merah;
- Sila Ketiga: Persatuan Indonesia dilambangkan dengan pohon beringin di bagian kiri atas perisai berlatar putih;
- Sila Keempat: Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan dilambangkan dengan kepala banteng di bagian kanan atas perisai berlatar merah ; dan
- Sila Kelima: Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia dilambangkan dengan kapas dan padi di bagian kanan bawah perisai berlatar putih.
Pita bertuliskan semboyan Bhinneka Tunggal Ika
- Kedua cakar Garuda Pancasila mencengkeram sehelai pita putih bertuliskan "Bhinneka Tunggal Ika" berwarna hitam.
- Semboyan Bhinneka Tunggal Ika adalah kutipan dari Kakawin Sutasoma karya Mpu Tantular. Kata "bhinneka" berarti beraneka ragam atau berbeda-beda, kata "tunggal" berarti satu, kata "ika" berarti itu. Secara harfiah Bhinneka Tunggal Ika diterjemahkan "Beraneka Satu Itu", yang bermakna meskipun berbeda-beda tetapi pada hakikatnya tetap adalah satu kesatuan, bahwa di antara pusparagam bangsa Indonesia adalah satu kesatuan. Semboyan ini digunakan untuk menggambarkan persatuan dan kesatuan Bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri atas beraneka ragam budaya, bahasa daerah, ras, suku bangsa, agama dan kepercayaan.
Beberapa aturan
Penggunaan lambang negara diatur dalam UUD 1945 pasal 36A dan UU No 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan. (LN 2009 Nmr 109, TLN 5035). Sebelumnya lambang negara diatur dalam Konstitusi RIS, UUD Sementara 1950, dan Peraturan Pemerintah No. 43/1958
Lambang Negara menggunakan warna pokok yang terdiri atas:
- warna merah di bagian kanan atas dan kiri bawah perisai;
- warna putih di bagian kiri atas dan kanan bawah perisai;
- warna kuning emas untuk seluruh burung Garuda;
- warna hitam di tengah-tengah perisai yang berbentuk jantung; dan
- warna alam untuk seluruh gambar lambang.
Lambang Negara wajib digunakan di:
- dalam gedung, kantor, atau ruang kelas satuan pendidikan;
- luar gedung atau kantor;
- lembaran negara, tambahan lembaran negara, berita negara, dan tambahan berita negara;
- paspor, ijazah, dan dokumen resmi yang diterbitkan pemerintah;
- uang logam dan uang kertas; atau
- meterai.
Dalam hal Lambang Negara ditempatkan bersama-sama dengan Bendera Negara, gambar Presiden dan/atau gambar Wakil Presiden, penggunaannya diatur dengan ketentuan:
- Lambang Negara ditempatkan di sebelah kiri dan lebih tinggi daripada Bendera Negara; dan
- gambar resmi Presiden dan/atau gambar Wakil Presiden ditempatkan sejajar dan dipasang lebih rendah daripada Lambang Negara.
Setiap orang dilarang:
- mencoret, menulisi, menggambari, atau membuat rusak Lambang Negara dengan maksud menodai, menghina, atau merendahkan kehormatan Lambang Negara;
- menggunakan Lambang Negara yang rusak dan tidak sesuai dengan bentuk, warna, dan perbandingan ukuran;
- membuat lambang untuk perseorangan, partai politik, perkumpulan, organisasi dan/atau perusahaan yang sama atau menyerupai Lambang Negara; dan
- menggunakan Lambang Negara untuk keperluan selain yang diatur dalam Undang-Undang ini.
Sumber
UU No 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan. (LN 2009 Nmr 109, TLN 5035)
- Artikel Garuda Pancasila (materi yang dipindahkan)
- Artikel Lambang Indonesia (awal)
Lagu Garuda Pancasila
Garuda Pancasila juga merupakan dan nama sebuah lagu nasional Indonesia yang diciptakan lagu dan liriknya oleh Sudharnoto.
Garuda Pancasila
Akulah pendukungmu
Patriot proklamasi
Sedia berkorban untukmu
Akulah pendukungmu
Patriot proklamasi
Sedia berkorban untukmu
- Pancasila dasar negara
- Rakyat adil makmur sentausa
- Pribadi bangsaku
- Ayo maju maju
- Ayo maju maju
- Ayo maju maju
Makna Warna Pada Bendera Merah Putih
Oleh : bagusbluesman
Sejak Sekolah Dasar mungkin banyak dari kita yang mengartikan lambang Merah Putih adalah: Merah = berani , Putih = Suci, padahal makna yang terkandung dalam bendera kita lebih dalam dari makna tersebut.
Pernahkah kita berpikir :
Pada buku Prof Moh Yamin "6.000 Tahun Sang Saka Merah Putih" yang tak pernah dicetak ulang sejak 1958,diulas :
Bendera Merah-Putih, menurut Sultan, memiliki urutan sejarah yang panjang. Bukan hanya produk 17 Agustus 1945, melainkan produk sejak abad XII saat zaman Sriwijya di Palembang dan Singasari sampai ke zaman Mataram, yang dikenal dengan sebutan bendera "Gula Klapa". Bagi orang Jawa, lanjut Sultan, bendera Merah-Putih tak ubahnya seperti sebuah keris, yang merupakan personifikasi atas diri pemiliknya. Untuk itu kemudian muncul kepercayaan, bendera Merah-Putih tidak boleh diletakkan di tanah. "Meskipun sebetulnya tidak apa-apa, tapi orang Jawa jelas tidak akan melakukan itu. Apalagi kalau Merah-Putih dibakar," ujarnya.
Sedangkan dalam masyarakat Jawa pada acara Slametan, Tumpengan dan hajatan khusus, ada sajian Bubur Sengkala (Bubur ketan Merah - Putih ) terdiri : Bubur Putih, Bubur Merah, Bubur Putih di tengahnya Merah, Bubur Merah di tengahnya Putih. Mengandung Filosofi: sama seperti diutarakan di atas, Putih artinya asal kehidupan, yakni sebelum manusia lahir berasal dari Sana, Kemudian ada Dunia/Bumi (merah) tempat manusia lahir, melalui pertemuan "Bapak" dan "Ibu" kita ada ,simbolnya Putih yang dalamnya Merah (waktu Ibu mengandung ada titik merah/janin kita, kemudian ketika kita lahir jadi manusia didalam kita ada roh suci, disimbolkan : Merah dalamnya Putih.
Jika di Tiongkok telah dikenal symbol YIN YANG sejak ribuan tahun silam , yang artinya kurang lebih mirip dengan Merah Putih, maka bangsa kita juga mempunyai simbol Merah Putih, artinya bangsa Indonesia mempunyai pandangan holistik, tentang Makrokosmos dan Microkosmos Kehidupan yang sangat religius yang sangat nyata ditulis oleh Alam .
Maka memahami Merah putih, berarti memahami makna filosofis yang dalam mengenai Makna Kehidupan yang menjadi Simbol, Spirit, Jiwa bangsa Indonesia.
- Mengapa Merah Putih dipilih sebagai Bendera, simbol dan identitas bangsa. Apa hanya warna merah dan putih?
- Mengapa posisi kedudukan Merah di atas, Putih di bawah? Mengapa tidak dibalik.
- Mengapa warna simbol merah putih bisa bertahan hingga ribuan tahun?
- Menurut catatan sejarah simbol merah putih dipakai sejak jaman Kutai, Sriwijaya, Mataram Hindu, Kediri, Singasari, Majapahit dan Mataram Islam. Di Jawa lebih dikenal dengan istilah Gula Klapa (Gula jawa warna=merah, Kelapa isinya warna putih, tapi satu asal)
- Bendera merah putih dipilih oleh para pelopor kebangsaan kita melalui perenungan dan perjalanan panjang.
Pada buku Prof Moh Yamin "6.000 Tahun Sang Saka Merah Putih" yang tak pernah dicetak ulang sejak 1958,diulas :
- Dijelaskan, warna merah simbol matahari dan warna putih sebagai simbol bulan. Merah putih bermakna "zat hidup". Hanya tidak dijelaskan makna "zat hidup". Buku ini ingin membuktikan, Merah Putih sudah menjadi simbol bangsa Indonesia sejak kedatangan mereka di kepulauan Nusantara 6.000 tahun lampau.
- Makna merah-putih tidak cukup ditelusuri dari jejak arkeologi bahwa warna merah, putih, dan hitam dapat dijumpai pada berbagai peninggalan prasejarah, candi, dan rumah adat. Artefak- artefak itu hanya ungkapan pikiran kolektif suku-suku di Indonesia. Maka, arkeologi pikiran kolektif inilah yang harus digali dan masuk otoritas antropologi-budaya atau antropologi-seni. Alam pikiran semacam itu masih dapat dijumpai di lingkungan masyarakat adat sampai sekarang.
- Warna merah, putih, hitam, kuning, dan campuran warna- warna itu banyak dijumpai pada ragam hias kain tenun, batik, gerabah, anyaman, dan olesan pada tubuh, yang menunjukkan keterbatasan penggunaan warna- warna pada bangsa Indonesia. Kaum orientalis menuduh bangsa ini buta warna di tengah alamnya yang kaya warna. Benarkah bangsa ini buta warna? Atau bangsa ini lebih rohaniah dibandingkan dengan manusia modern yang lebih duniawi dengan pemujaan aneka warna yang seolah tak terbatas?
- Alam rohani dan duniawiAlam rohani lebih esensi, lebih sederhana,lebih tunggal. Sedangkan alam duniawi lebih eksisten, kompleks, dan plural. Bangsa Indonesia pramodern memandang hidup dari arah rohani daripada duniawi. Inilah sebabnya penggunaan simbol warna lebih sederhana ke arah tunggal. Jika disebut buta warna, berarti buta duniawi, tetapi kaya rohani.
- Berbagai perbedaan hanya dilihat esensinya pada perbedaan dasar, yakni laki-laki dan perempuan. Semua hal yang dikenal manusia hanya dapat dikategorikan dalam dualisme-antagonistik, laki-perempuan. Matahari itu lelaki, bulan perempuan. Dan puluhan ribu kategori lain.
Pemisahan "lelaki"-"perempuan" itu tidak baik karena akan impoten. Potensi atau "zat hidup" baru muncul jika pasangan-pasangan dualistik itu diharmonikan, dikawinkan, ditunggalkan. Itu sebabnya tunggalnya merah dan putih menjadi dwitunggal. Satu tetapi dua, dua tetapi tunggal. Dwitunggal merah-putih menjadi potensi, zat hidup.
- Harmoni bukan sintesis. Sintesis merah-putih adalah merah jambu. Bendera Indonesia tetap Merah Putih, dwitunggal. Dalam sintesis tidak diakui perbedaan karena yang dua lenyap menjadi satu. Bhinneka Tunggal Ika bukan berarti yang plural menjadi satu entitas. Yang plural tetap plural, hanya ditunggalkan menjadi zat hidup. Sebuah kontradiksi, paradoks, yang tidak logis menurut pikiran modern.
- Dalam pikiran modern, Anda harus memilih merah atau putih atau merah jambu. Lelaki atau perempuan atau banci. Dalam pikiran pramodern Indonesia, ketiganya diakui adanya, merah, putih, merah jambu. Merah jambu itulah Yang Tunggal, paradoks, Zat Hidup, karena Yang Tunggal itu hakikatnya Paradoks. Jika semua ini berasal dari Yang Tunggal, dan jika semua ini dualistik, Yang Tunggal mengandung kedua-duanya alias paradoks absolut yang tak terpahami manusia. Tetapi itulah Zat Hidup yang memungkinkan segalanya ini ada.
- Yang Tunggal itu metafisik, potensi, being. Yang Tunggal itu menjadikan Diri plural (becoming) dalam berbagai pasangan dualistik. Inilah pikiran monistik dan emanasi, berseberangan dengan pikiran agama-agama Samawi. Harus diingat, merah-putih telah berusia 6.000 tahun, jauh sebelum agama-agama besar memasuki kepulauan ini.
- Warna merah, putih, dan hitam ada di batu-batu prasejarah, candi, panji perang. "Putih" adalah simbol langit atau Dunia Atas, "Merah" sim- bol dunia manusia, dan "Hitam" simbol Bumi atau Dunia Bawah. Warna-warna itu simbol kosmos, warna-warna tiga dunia.
- Alam pikiran ini hanya muncul di masyarakat agraris. Obsesi mereka adalah tumbuhnya tanaman (padi, palawija) untuk keperluan hidup manusia. Tanaman baru tumbuh jika ada harmoni antara langit dan bumi, antara hujan dan tanah. Antara putih dan hitam sehingga muncul merah. Inilah yang menyebabkan masyarakat tani di Indonesia "buta warna".
- Buta warna semacam itu ada kain-kain tenun, kain batik, perisai Asmat, hiasan rumah adat. Meski dasarnya triwarna putih, merah, hitam, terjemahannya dapat beragam. Putih menjadi kuning. Hitam menjadi biru atau biru tua. Merah menjadi coklat. Itulah warna-warna Indonesia.
- Kehidupan dan kematianAntropolog Australia, Penelope Graham, dalam penelitiannya di Flores Timur (1991) menemukan makna merah dan putih agak lain. Warna merah dan putih dihubungkan dengan darah. Ungkapan mereka, "darah tidak sama", ada darah putih dan darah merah. Darah putih manusia itu dingin dan darah merah panas. Darah putih itu zat hidup dan darah merah zat mati. Darah putih manusia mendatangkan kehidupan baru, kelahiran. Darah merah mendatangkan kematian.
- Darah putih yang tercurah dari lelaki dan perempuan menimbulkan kehidupan baru, tetapi darah merah yang tercurah dari lelaki dan perempuan berarti kematian. Makna ini cenderung mengembalikan putih untuk perempuan dan merah untuk lelaki, karena hanya kaum lelaki yang berperang. Mungkin inilah hubungan antara warna merah dan keberanian. Merah adalah berani (membela kehidupan) dan putih adalah suci karena mengandung "zat hidup".
- Mengapa merah di atas dan putih di bawah? Mengapa tidak dibalik? Bukankah merah itu alam manusia dan putih Dunia Atas? Merah itu berani (mati) dan putih itu hidup? Merah itu lelaki dan putih perempuan? Merah matahari dan putih bulan?Merah panas dan putih dingin? Artinya, langit-putih-perempuan mendukung manusia-merah-lelaki. Asal manusia itu dari langit. Akar manusia di atas. Itulah sangkan-paran, asal dan akhir kehidupan. Beringin terbalik waringin sungsang. Isi berasal dari Kosong. Imanen dari yang transenden. Merah berasal dari putih, lelaki berasal dari perempuan.
- Jelas, Merah-Putih dari pemikiran primordial Indonesia. Merah-putih itu "zat hidup", potensi, daya-daya paradoksal yang menyeimbangkan segala hal: impoten menjadi poten, tak berdaya menjadi penuh daya, tidak subur menjadi subur, kekurangan menjadi kecukupan, sakit menjadi sembuh . Merah-putih adalah harapan keselamatan. Dia adalah daya-daya sendiri, positif dan negatif menjadi tunggal.
- Siapakah yang menentukan Merah-Putih sebagai simbol Indonesia? Apakah ia muncul dari bawah sadar kolektif bangsa? Muncul secara intuisi dari kedalaman arkeotip bangsa? Kita tidak tahu, karena merah-putih diterima begitu saja sebagai syarat bangsa modern untuk memiliki tanda kebangsaannya.
Merah-Putih adalah jiwa Indonesia....
Bendera Merah-Putih, menurut Sultan, memiliki urutan sejarah yang panjang. Bukan hanya produk 17 Agustus 1945, melainkan produk sejak abad XII saat zaman Sriwijya di Palembang dan Singasari sampai ke zaman Mataram, yang dikenal dengan sebutan bendera "Gula Klapa". Bagi orang Jawa, lanjut Sultan, bendera Merah-Putih tak ubahnya seperti sebuah keris, yang merupakan personifikasi atas diri pemiliknya. Untuk itu kemudian muncul kepercayaan, bendera Merah-Putih tidak boleh diletakkan di tanah. "Meskipun sebetulnya tidak apa-apa, tapi orang Jawa jelas tidak akan melakukan itu. Apalagi kalau Merah-Putih dibakar," ujarnya.
Sedangkan dalam masyarakat Jawa pada acara Slametan, Tumpengan dan hajatan khusus, ada sajian Bubur Sengkala (Bubur ketan Merah - Putih ) terdiri : Bubur Putih, Bubur Merah, Bubur Putih di tengahnya Merah, Bubur Merah di tengahnya Putih. Mengandung Filosofi: sama seperti diutarakan di atas, Putih artinya asal kehidupan, yakni sebelum manusia lahir berasal dari Sana, Kemudian ada Dunia/Bumi (merah) tempat manusia lahir, melalui pertemuan "Bapak" dan "Ibu" kita ada ,simbolnya Putih yang dalamnya Merah (waktu Ibu mengandung ada titik merah/janin kita, kemudian ketika kita lahir jadi manusia didalam kita ada roh suci, disimbolkan : Merah dalamnya Putih.
Jika di Tiongkok telah dikenal symbol YIN YANG sejak ribuan tahun silam , yang artinya kurang lebih mirip dengan Merah Putih, maka bangsa kita juga mempunyai simbol Merah Putih, artinya bangsa Indonesia mempunyai pandangan holistik, tentang Makrokosmos dan Microkosmos Kehidupan yang sangat religius yang sangat nyata ditulis oleh Alam .
Maka memahami Merah putih, berarti memahami makna filosofis yang dalam mengenai Makna Kehidupan yang menjadi Simbol, Spirit, Jiwa bangsa Indonesia.
(Tulisan ini dihimpun dari berbagai sumber, literatur, masukan, diskusi dengan beberapa tokoh, pinisepuh di berbagai pelosok Indonesia.)
Tabel Daftar Hari Besar Lengkap:
Tabel Daftar Hari Besar Lengkap:
Januari | Februari |
01 » Tahun Baru Masehi 01 » Hari Perdamaian Dunia 05 » HUT Korps Wanita Angkatan Laut 10 » Hari Tritura 10 » Hari Lingkungan Hidup Indonesia 15 » Hari Peristiwa Laut atau Samudera 25 » Hari Gizi 25 » Hari Kusta Internasional | 02 » Hari Lahan Basah Sedunia (konvensi Ramsar) 09 » Hari Pers Nasional 13 » Hari Farmasi |
Maret | April |
01 » Hari Kehakiman Indonesia 06 » Hari Kostrad 06 » Hari Konvensi CITES (perdagangan satwa liar) 08 » Hari Wanita Internasional 09 » Hari Wanita Indonesia 10 » Hut PARFI 11 » Hari Surat Perintah 11 Maret (Supersemar) 18 » Hari Arsitektur Indonesia 20 » Hari Kehutanan Dunia 22 » Hari Air Internasional 23 » Hari Metereologi Sedunia 24 » Hari Peringatan Bandung Lautan Api 30 » Hari Film Indonesia | 01 » HUT Bank Dunia 06 » Hari Nelayan Indonesia 07 » Hari Kesehatan Indonesia 09 » Hari Penerbangan Nasional 19 » Hari HANSIP 21 » Hari Kartini 22 » Hari Bumi / Earth Day / KTT Bumi 24 » Hari Angkutan Nasional 27 » Hari Lembaga Pemasyarakatan Indonesia |
Mei | Juni |
01 » Hari Buruh Internasional 01 » Hari Peringatan Pernbebasan Irian Barat 02 » Hari Pendidikan Nasional 03 » Hari Surya 05 » Hari Lembaga Sosial Desa 08 » Hari Palang Merah Internasional 11 » Hari POM TNI 17 » Hari Buku Nasional 20 » Hari Kebangkitan Nasional | 01 » Hari Lahirnya Pancasila 03 » Hari Pasar & Modal Indonesia 05 » Hari Lingkungan Hidup Sedunia 21 » Hari Krida Pertanian 22 » HUT Kota Jakarta 23 » Hari Konvensi Bonn 24 » Hari Bidan Indonesia 29 » Hari keluarga Nasional |
Juli | Agustus |
01 » Hari Bhayangkara 01 » Hari Anak-anak Indonesia 05 » Hari Bank Indonesia 09 » Hari Peluncuran Satelit Palapa 12 » Hari Koperasi Indonesia 22 » Hari Kejaksaan 23 » Hari Anak Nasional | 08 » Hari ASEAN 10 » Hari Veteran Nasional 14 » Hari Pramuka 17 » Hari Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 18 » Hari Konstitusi Indonesia 19 » Hari Departemen Luar Negeri 21 » Hari Maritim Nasional 24 » HUT TVRI |
September | Oktober |
01 » Hari POLWAN 04 » Hari Pelanggan Nasional (mulai 2003) 08 » Hari Aksara 08 » Hari Pamong Praja 09 » Hari Olahraga Nasional 11 » Hari Radio Republik Indonesia 17 » Hari Perhubungan Nasional 24 » Hari Agraria Nasional / Hari Tani 27 » Hari ParPostel 28 » Hari Kereta Api 29 » Hari Sarjana 30 » Hari Pemberontakan PKI | 01 » Hari Kesaktian Pancasila 05 » HUT Tentara Nasional Indonesia 09 » Hari Surat Menyurat Internasional 14 » Hari Pangan Sedunia 15 » Hari Hak Asasi Binatang 16 » Hari Parlemen RI 24 » HUT PBB 24 » Hari Dokter Indonesia 27 » Hari Penerbangan Nasional 28 » Hari Sumpah Pemuda 30 » Hari Keuangan |
Nopember | Desember |
03 » Hari Kerohanian 10 » Hari Pahlawan 12 » Hari Kesehatan Nasional 14 » Hari BRIMOB 16 » Hari Konferensi Warisan Dunia 21 » Hari Pohon 25 » Hari Guru / HUT PGRI | 01 » Hari AIDS sedunia 02 » Hari Konvensi Ikan Paus 03 » Hari Penderita Cacat 04 » Hari Artileri 09 » Hari Armada RI 10 » Hari HAM 12 » Hari Transmigrasi 15 » Hari Infantri 15 » Hari Cinta Puspa dan Satwa Nasional 19 » HUT Tentara Nasional Indonesia 20 » Hari Sosial 22 » Hari Ibu 22 » Hari Sosial 22 » Hari Korps Wanita Angkatan Darat 25 » Hari Natal 29 » Hari Keanekaragaman Hayati |
DAFTAR NAMA PAHLAWAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA
(Oleh : Eritristiyanto)
NO | Nama | SK Presiden | Asal Daerah / Daerah Pengusul | Ket |
1. | Abdul Muis 1883 – 1959 | 218 Tahun 1959 30 – 8 – 1959 | Sumatera Barat | |
2. | Ki Hadjar Dewantoro 1889 – 1959 | 305 Tahun 1959 28 – 11 – 1959 | D.I. Yogyakarta | |
3. | Surjopranoto 1871 – 1959 | 310 Tahun 1959 30 – 11 – 1959 | D.I. Yogyakarta | |
4. | Mohammad Hoesni Thamrin 1894 – 1941 | 175 Tahun 1960 28 – 7 – 1960 | DKI Jakarta | |
5. | K.H. Samanhudi 1878 – 1956 | 590 Tahun 1961 9 – 11 – 1961 | Jawa Tengah | |
6. | H.O.S. Tjokroaminoto 1883 – 1934 | 590 Tahun 1961 9 – 11 – 1961 | Jawa Timur | |
7. | Setyabudi 1897 – 1950 | 590 Tahun 1961 9 – 11 – 1961 | Jawa Timur | |
8. | Si Singamangaradja XII 1849 – 1907 | 590 Tahun 1961 9 – 11 – 1961 | Sumatera Utara | |
9. | Dr.G.S.S.J.Ratulangi 1890 – 1949 | 590 Tahun 1961 9 – 11 – 1961 | Sulawesi Utara | |
10. | Dr. Sutomo 1888 – 1938 | 657 Tahun 1961 27 – 12 – 1961 | Jawa Timur | |
11. | K.H. Ahmad Dahlan 1868 – 1934 | 657 Tahun 1961 27 – 12 – 1961 | D.I. Yogyakarta | |
12. | K.H. Agus Salim 1884 – 1954 | 657 Tahun 1961 27 – 12 – 1961 | Sumatera Barat | |
13. | Jenderal Gatot Subroto 1907 – 1962 | 222 Tahun 1962 18 – 6 1962 | Jawa Tengah | |
14. | Sukardjo Wirjopranoto 11903 – 1962 | 342 Tahun 1962 29 – 10 – 1962 | Jawa Tengah | |
15. | Dr. Ferdinand Lumban Tobing 1899 – 1962 | 361 Tahun 1962 17 – 11 – 1962 | Sumatera Utara | |
16. | K.H. Zainul Arifin 1909 – 1963 | 35 Tahun 1963 4 – 3 – 1963 | Sumatera Utara | |
17. | Tan Malaka 1884-1949 | 53 Tahun 1963 28 – 3 – 1963 | Sumatera Utara | |
18. | MGR A.Sugiopranoto, S.J. 1896 – 1963 | 152 Tahun 1963 26 – 7 – 1963 | Jawa Tengah | |
19. | Ir. H. Djuanda Kartawidjaja 1911 – 1963 | 244 Tahun 1963 29 – 11 – 1963 | Jawa Tengah | |
20. | Dr. Sahardjo, SH 1909 – 1963 | 245 Tahun 1963 29 – 11 – 1963 | Jawa Tengah | |
21. | Tjuk Njak Dhien 1850 – 1908 | 106 Tahun 1964 2 – 5 – 1964 | D. I. Aceh | |
22. | Tjut Meutia 1870 | 107 Tahun 1964 2 – 5 – 1964 | D. I. Aceh | |
23. | Raden Adjeng Kartini 1879 – 1904 | 108 Tahun 1964 2 – 5 – 1964 | Jawa Tengah | |
24. | Dr. Tjiptomangunkusumo 1886 – 1943 | 109 Tahun 1964 2 – 5 – 1964 | Jawa Tengah | |
25. | H. Fachruddin 1890 – 1929 | 162 Tahun 1964 26 – 6 – 1964 | D.I. Yogyakarta | |
26. | K.H. Mas Mansur 1896 – 1946 | 162 Tahun 1964 26 – 6 – 1964 | Jawa Timur | |
27. | Alimin 1889 – 1964 | 163 Tahun 1964 26 – 6 – 1964 | Jawa Tengah | |
28. | Dr. Muwardi 1907 – 1948 | 190 Tahun 1964 4 – 8 – 1964 | Jawa Tengah | |
29. | K.H. Abdul Wahid Hasjim 1914 – 1953 | 206 Tahun 1964 24 – 8 – 1964 | Jawa Timur | |
30. | Sri Susuhunan Pakubuwono VI 1807 – 1849 | 294 Tahun 1964 17 –11 – 1964 | Jawa Tengah | |
31. | K.H. Hasjim Asjarie 1875 – 1947 | 294 Tahun 1964 17 –11 – 1964 | Jawa Timur | |
32. | Gubernur Surjo 1896 – 1948 | 294 Tahun 1964 17 –11 – 1964 | Jawa Timur | |
33. | Jenderal Soedirman 1916 – 1950 | 314 Tahun 1964 10 – 12 – 1964 | Jawa Tengah | |
34. | Jenderal Oerip Soemohardjo 1893 – 1948 | 314 Tahun 1964 10 – 12 – 1964 | Jawa Tengah | |
35. | Prof. Dr. Soepomo, SH. 1903 – 1958 | 123 Tahun 1965 14 – 5 – 1965 | Jawa Tengah | |
36. | Dr. Koesoemah Atmadja, SH. 1898 – 1952 | 124 Tahun 1965 14 – 5 – 1965 | Jawa Barat | |
37. | Jend. TNI. Anm. Achmad Yani 1922 – 1965 | 111 /KOTI/1965 5 – 10 – 1965 | Jawa Tengah | |
38. | Let. Jen. TNI. Anm. Soeprapto 1920 – 1965 | 111 /KOTI/1965 5 – 10 – 1965 | Jawa Tengah | |
39. | Let.Jen.TNI.Anm.M.T. Harjono 1924 – 1965 | 111 / KOTI/1965 5 – 10 – 1965 | Jawa Timur | |
40. | Let.Jen.TNI.Anm. S. Parman 1918 – 1965 | 111/ KOTI/ 1965 5 – 10 – 1965 | Jawa Tengah | |
41 | Mayjen. TNI. Anm.D.I. Pandjaitan. 1925-1965 | 111/Koti/1965 5-10-1965 | Sumatra Utara | |
42. | Mayjen.TNI.Anm.Soetojo Siswomihardjo. 1922-1965 | 111/Koti/1965 5-10-1965 | Jawa Tengah | |
43. | Kapten.CZI. Anm.Pierre Tendean 1939-1965 | 111/Koti/1965 5-10-1965 | D.K.I. Jakarta | |
44. | Brigadir Polisi Anm. Karel Sasuit Tubun 1928-1965 | 114/Koti/1965 5-10-1965 | M a l u k u | |
45. | Brigjen. TNI. Anm. Katamso 1923-1965 | 118/Koti/1965 19-10-1965 | D.I. Yogyakarta | |
46. | Kol.Inf.Anm.Sugiono 1926-1965 | 118/Koti/1965 19-10-1965 | D.I. Yogyakarta | |
47. | Sutan Sjahrir 1909-1966 | 76 Tahun 1966 9-4-1966 | Sumatra Barat | |
48. | Laksamana Laut R.E.Martadinata 1921-1966 | 220 Tahun 1966 7-10-1966 | Jawa Barat | |
49. | Raden Dewi Sartika 1884-1947 | 252Tahun 1966 1-2-1966 | Jawa Barat | |
50. | Prof.Dr.W.Z.Johannes 1895-1952 | 06/TK/1968 27-3-1968 | Nusa Tenggara Timur | |
51. | Pangeran Antasari 1809-1892 | 06/TK/1968 27-3-1968 | Kalimantan Selatan | |
52. | Serda.KKO. Anm.Djanatin Alias Osman Bin Haji Mohammad Ali 1943-1968 | 050/TK/1968 17-10-1968 | Jawa Timur | |
53. | Kopral.KKO.Anm.Harun Bin Said Alias Tahir 1947-1968 | 050/TK/1968 17-10-1968 | Jawa Timur | |
54. | Jend.TNI.Anm. Basuki Rachmat 1921-1968 | 01/TK/1969 9-1-1969 | Jawa Timur | |
55. | A.F. Lasut 1918-1949 | 012/TK/1969 20-5-1969 | Sulawesi Utara | |
56. | Martha Christina Tijahahu 1800-1818 | 012/TK/1969 20-5-1969 | M a l u k u | |
57. | Maria Walanda Maramis 1872-1924 | 012/TK/1969 20-5-1969 | Sulawesi Utara | |
58. | S u p e n o 1916-1949 | 39/TK/1970 13-7-1970 | Jawa Tengah | |
59. | Sultan Ageng Titajasa 1631-1683 | 45/TK/1970 1-8-1970 | Jawa Barat | |
60. | W.R. Soepratman 1903-1938 | 016/TK/1971 20-5-1971 | Jawa Timur | |
61. | Nyai Achmad Dachlan 1872-1946 | 042/TK/1971 22-9-1971 | D.I. Yogyakarta | |
62. | K.H. Zainal Moestafa 1907-1944 | 064/TK/1972 6-11-1972 | Jawa Barat | |
63. | Sultan Hasanuddin 1631-1670 | 087/TK/1973 6-11-1973 | Sulawesi Selatan | |
64. | Kapitan Pattimura 1783-1817 | 087/TK/1973 6-11-1973 | M a l u k u | |
65. | Pangeran Diponegoro 1785-1855 | 087/TK/1973 6-11-1973 | D.I. Yogyakarta | |
66. | Tuanku Imam Bondjol 1772-1864 | 087/TK/1973 6-11-1973 | Sumatra Barat | |
67. | Teuku Tjik Ditiro 1836-1891 | 087/TK/1973 6-11-1973 | D.I.Aceh | |
68. | Teuku Umar 1854-1899 | 087/TK/1973 6-11-1973 | D.I. Aceh | |
69. | DR. Wahidin Soedirohoesodo 1852-1917 | 088/TK/1973 6-11-1973 | D.I. Yogyakarta | |
70. | R. Otto Iskandardinata 1897-1945 | 088/TK/1973 6-11-1973 | Jawa Barat | |
71. | Robert Wolter Monginsidi 1925-1949 | 088/TK/1973 6-11-1973 | Sulawesi Utara | |
72. | Prof. Mohammad Yamin, SH 1903-1962 | 088/TK/1973 6-11-1973 | Sumatra Barat | |
73. | Laksda.TNI.Anm. Josaphat Soedarso 1925-1962 | 088/TK/1973 6-11-1973 | Jawa Tengah | |
74. | Prof.DR.R. Soeharso 1912-1971 | 088/TK/1973 6-11-1973 | Jawa Tengah | |
75. | Marsda. TNI.Anm.Prof. DR. Abdulrachman Saleh 1909-1947 | 071/TK/1974 9-11-1974 | D.I.Yogyakarta | |
76.. | Marsda, TNI Anm. Mas Agustinus Adisutjipto 1916-1947 | 071/TK/1974 9-11-1974 | D.I.Yogyakarta |
NO | Nama | SK Presiden | Asal Daerah / Daerah Pengusul | Ket |
78. | Nji Ageng Serang 1752-1828 | 084/TK/1974 13-12-1974 | Jawa Tengah | |
79. | H.Rasuna Said 1910-1965 | 084/TK/1974 13-12-1974 | Sumatra Barat | |
80. | Marsda.TNI.Anm.Abdul Halim Perdana Kusuma. 1922-1947 | 063/TK/1975 9-8-1975 | Jawa Timur | |
81. | Marsma. TNI. Anm.R.Iswahjudi 1918-1949 | 063/TK/1975 9-8-1975 | Jawa Timur | |
82. | Kol.TNI.Anm.I.Gusti Ngurah Rai 1917-1946 | 063/TK/1975 9-8-1975 | B a l i | |
83. | Soeprijadi 1925-1945 | 063/TK/1975 9-8-1975 | Jawa Timur | |
84. | Sultan Agung Anyokrokusumo 1591-1645 | 106/TK/1975 3-11-1975 | D.I. Yogyakarta | |
85. | Untung Surapati 1660-1706 | 106/TK/1975 3-11-1975 | Jawa Timur | |
86. | Tengku Amir Hamzah 1911-1946 | 106/TK/1975 3-11-1975 | Sumatra Utara | |
87. | Sultan Thaha Sjaifuddin 1816-1904 | 079/TK/1977 24-10-1977 | Jambi | |
88. | Sultan Mahmud Badaruddin II 1767-1852 | 063/TK/1984 29-10-1984 | Sumatra Selatan | |
89. | Dr.Ir.Soekarno 1901-1970 | 081/TK/1986 23-10-1986 | Jawa Timur | |
90. | DR. H. Moh. Hatta 1902-1980 | 081/TK/1986 23-10-1986 | Sumatra Barat | |
91. | R.P. Soeroso 1893-1981 | 082/TK/1986 23-10-1986 | Jawa Timur | |
92. | Radin Inten II 1834-1856 | 082/TK/1986 23-10-1986 | Lampung | |
93. | Pangeran Sambernyowo (KGPAA Mangkunegoro I ) 1725-1795 | 048/TK/1988 17-8-1988 | Jawa Tengah | |
94. | Sri Sultan Hamengkubuwono IX 1912-1988 | 053/TK/1990 30-7-1990 | D.I. Yogyakarta | |
95. | Sultan Iskandar Muda 1593 – 1636 | 077 /TK/ 1993 14- 9-1993 | D.I. Aceh | |
96. | I Gusti Ketut Jelantik - 1849 | 077 /TK/ 1993 14- 9-1993 | B a l i | |
97. | Frans Kaisiepo 1921 – 1979 | 077 /TK/ 1993 14- 9-1993 | Irian Jaya | |
98. | Silas Papare 1918 – 1978 | 077 /TK/ 1993 14- 9-1993 | Irian Jaya | |
99. | Marthen Indey 1912 – 1986 | 077 /TK/ 1993 14- 9-1993 | Irian Jaya | |
100. | Nuku Muhammad Amiruddin Kaicil Paparangan 1738 – 1805 | 071 /TK/ 1995 7 – 8 – 1995 | M a l u k u | |
101. | Tuanku Tambusai 1784 – 1882 | 071 /TK/ 1995 7 – 8 – 1995 | R I a u | |
102. | Syekh Yusuf Tajul Khalwati 1626 – 1699 | 071 /TK/ 1995 7 – 8 – 1995 | Sulawesi Selatan | |
103. | Ny. Hj. Fatimah Siti Hartinah Soeharto 1923 – 1996 | 060 / TK/ 1996 30 – 7 – 1996 | Surakarta | |
104. | Raja Haji Fisabilillah 1727 – 1784 | 072 / TK / 1997 11 – 8 – 1997 | R I a u | |
105. | H. Adam Malik 1917 – 1984 | 107 / TK / 1998 6 – 11 – 1998 | Jakarta | |
106. | Tjilik Riwut 1918 – 1987 | 108 / TK / 1998 6 – 11 – 1998 | Kalimantan Tengah | |
107. | La Maddukelleng 1700 – 1765 | 109 / TK / 1998 6 – 11 – 1998 | Sulawesi Selatan | |
108. | Sultan Asyaidis Syarif Kasim Sani Abdul Jalil Syarifuddin ( Syarif Kasim II ) 1893 - | 109/ TK / 1998 6 – 11 – 1998 | Riau | |
109. | H. Ilyas Yacoub 1903 – 1958 | 074 / TK / 1999 13 – 8 – 1999 | Sumatera Barat | |
110. | Prof. DR. Hazairin, SH 1906 – 1975 | 074 / TK / 1999 13 – 8 – 1999 | Bengkulu | |
111. | Abdul Kadir Gelar Raden Tumenggung Setia Pahlawan | 114 / TK / 1999 13 – 10 – 1999 | Kalimantan Barat | |
112. | Hj. Fatmawati Soekarno 1923 – 1980 | 118 / TK / 2000 4 – 11 – 2000 | Bengkulu | |
113. | Ranggong Daeng Romo 1915 – 1947 | 109 / TK / 2001 3 – 11 - 2001 | Sulawesi Selatan | |
114. | Brigjen TNI ( Purn ) H. Hasan Basry , 1923 – 1984 | 110 / TK / 2001 3 – 11 - 2001 | Kalimantan Selatan | |
115. | Jenderal Besar TNI A.H. Nasution (1918 – 2000 ) | 073/TK/2002 6 – 11 – 2002 | DKI Jakarta | |
116. | Jenderal TNI GPH Djatikusumo ( 1917 – 1992 ) | 073/TK/2002 6 – 11 – 2002 | DKI Jakarta | |
117. | Andi Djemma ( 1935 – 1965 ) | 073/TK/2002 6 – 11 – 2002 | Sulawesi Selatan | |
118. | Pong Tiku ( 1846 – 1907 ) | 073/TK/2002 6 – 11 – 2002 | Sulawesi Selatan | |
119. | Prof. Mr. Iwa Kusuma Sumantri ( 1899 – 1971 ) | 073/TK/2002 6 – 11 – 2002 | Jawa Barat | |
120. | H. Nani Wartabone ( 1907 – 1986 ) | 085/TK/TH 2003 6 –11-2003 | Gorontalo | |
121. | Maskoen Soemadiredja ( 1907 – 1986 ) | 089/TK/TH 2004 5-11-2004 | Jawa Barat | |
122. | Andi Mappanyukki ( 1885 – 1967 ) | 089/TK/TH 2004 5-11-2004 | Sulawesi Selatan | |
123. | Raja Ali Haji ( 1809 – 1870 ) | 089/TK/TH 2004 5-11-2004 | Kepulauan Riau | |
124. | K.H. Ahmad Rifa’I ( 1786 - 1870 ) | 089/TK/TH 2004 5-11-2004 | Jawa Tengah | |
125. | Gatot Mangkoepradja ( 1896 – 1968 ) | 089/TK/TH 2004 5-11-2004 | Jawa Barat | |
126. | Ismail Marzuki ( 1914 – 1958 ) | 089/TK/TH 2004 5-11-2004 | DKI Jakarta | |
127. | Kiras Bangun (Garamata) (1852-1942) | 082/TK/TH 2005 7-11-2005 | Sumatera Utara | |
128. | Bagindo Azizchan (1910-1947) | 082/TK/TH 2005 7-11-2005 | Sumatera Barat | |
129. | Andi Abdullah Bau Massepe 1918-1947 | 082/TK/TH 2005 7-11-2005 | Sulawesi Selatan | |
130. | Teuku H. Muhammad Hasan | 085/TK/TH 2006 3-11-2006 | Aceh | |
131. | Tirto Adhi Soeryo | 085/TK/TH 2006 3-11-2006 | Jawa Barat | |
132. | KH. Noer Ali | 085/TK/TH 2006 3-11-2006 | Jawa Barat | |
133. | Pajongga Daeng Ngalle | 085/TK/TH 2006 3-11-2006 | Sulawesi Selatan | |
134. | Opu Daeng Risadju | 085/TK/TH 2006 3-11-2006 | Sulawesi Selatan | |
135. | Izaak Huru Doko | 085/TK/TH 2006 3-11-2006 | NTT | |
136. | Hamengkubuwono I | 085/TK/TH 2006 3-11-2006 | Yogyakarta | |
137. | Sultan Daeng Radja | 085/TK/TH 2006 3-11-2006 | Sulawesi Selatan | |
138. | Mayjen TNI (Purn) dr. Adnan Kapau Gani | 066/TK/TH 2007 6-11-2007 | Sumatera Selatan | |
139. | Mr. Dr. Ide Anak Agung Gde Agung | 066/TK/TH 2007 6-11-2007 | D.I. Yogyakarta | |
140. | Mayjen TNI (Purn) Prof Dr. Moestopo | 066/TK/TH 2007 6-11-2007 | Jawa Timur | |
141. | Brigjen TNI (Anm) Ignatius Slamet Rijadi | 066/TK/TH 2007 6-11-2007 | Jawa Tengah | |
142. | DR. Mohammad Natsir | 041/TK/TH 2008 6-11-2008 | Sumatera Barat | |
143. | KH. Abdul Halim | 041/TK/TH 2008 6-11-2008 | Jawa Barat | |
144. | Sutomo (Bung Tomo) | 041/TK/TH 2008 6-11-2008 | Jawa Timur | |
145. | Laksamana Muda TNI Jahja Daniel Dharma (John Lie) | 058/TK/TH 2009 6-11-2009 | Sulawesi Utara | |
146. | Prof. DR. Ir. Herman Johannes | 058/TK/TH 2009 6-11-2009 | NTT | |
147. | Prof.MR. Achmad Subardjo | 058/TK/TH 2009 6-11-2009 | DKI Jakarta |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar