Selamat Datang

Selamat Membaca dan Mohon Berikan Komentar Anda!

Jumat, 22 April 2011

Bangsaku dan Negeriku

(Jeritan Sakit Hati Sang Pewaris Negeri)

 (Oleh Yayan, S.Pd)

“Indonesia harus memilih: Hidup menanggung malu dan  menundukan kepala di hadapan bangsa lain, ataukah berjuang menegakan kedaulatan, membela harga diri dan martabat bangsa, mengangkat kepala dengan tegak dan dipandang terhormat oleh bangsa lain di dunia Internasional?”


“Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)” merupakan kalimat yang memiliki makna sangat dalam bagi bangsa Indonesia, kalimat tersebut menunjukan bahwa Indonesia adalah bangsa yang memiliki harga diri dan martabat yang tinggi sebagai bangsa dan negara yang merdeka dan berdaulat. Saat ini NKRI mendapat pertanyaan “Apakah sebagai bangsa dan negara yang berdaulat, Indonesia mampu menunjukan harga diri dan martabatnya di hadapan dunia internasional?” Pertanyaan seperti itu muncul ketika Indonesia dihadapkan pada sengketa dengan negara lain terutama dengan Malaysia yang beberapa waktu lalu memanas kembali akibat memperebutkan Blok Ambalat yang mengandung sumber daya minyak yang kaya.
Dalam sengketa-sengketa yang pernah terjadi sebelumnya, yaitu segketa masalah sosial budaya (Roeg Ponorogo, lagu Rasa Sayange, dan Batik,) dan masalah wilayah kekuasaan (Sipadan dan Ligitan) Indonesia sudah banyak mengalami kerugian. Hal serupa tidak tertutup kemungkinan akan terjadi kembali dalam kasus Ambalat atau kasus kasus berikutnya yang belum muncul, jika Indonesia tidak dapat bertindak lebih tegas terhadap Slangor.  
Pada dasarnya kasus Ambalat memiliki perbedaan dengan kasus-kasus yang pernah terjadi sebelumnya, dalam kasus ini secara hukum Indonesia berada pada posisi yang jauh lebih kuat dibanding dengan Slangor. Ambalat secara yuridis formal sudah sah menjadi wilayah Indonesia berdasarkan Deklarasi Djuanda tahun 1957, Prp No. 4/1960 tentang Perairan Indonesia, dan  Deklarasi The United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) tahun 1982 Bagian IV.  Dengan demikian secara hukum internasional Slangor telah melanggar dua asas sekaigus, yaitu asas courtesy (asas saling menghormati antar negara yang memiliki hubungan) dengan tidak menghormati Indonesia sebagai negara yang berdaulat dan melanggar asas pacta sun servanda dengan memperbahrui peta wialayah negaranya dan memasukan Ambalat sebagai daerah territorial mereka secara tidak bertanggung jawab tanpa memperduikan  Deklarasi The United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) tahun 1982 Bagian IV. Padahal, menurut Hans Kelsen asas pacta sun servanda  merupakan salah satu sumber hukum internasina materiil yang menyebabkan hukum internasional mempunyai kekuatan mengikat dan harus dipatuhi.
Dalam perkembangannya, Slangor semakin keterlaluan  bahkan terkesan “Ngoconan jeung ngece”  dengan terus melanggar batas wilayah kedua negara, dan mengabaikan peringatan yang diberikan oleh para prajurit Indonesia dengan alasan mereka tidak melanggar batas teritiorial kedua negara, bahkan berani melakukan menuver-manuver yang membahayakan keamanan prajurit Indonesia. Sungguh ironi, karena kita katanya adalah bangsa yang besar. Akan tetapi menghadapi sengketa-sengketa internasional bangsa Indonesia terutama para Gegeden di Batavia terkesan “tidak reaktif dan responsif” sehingga kita sering mengalami kerugian dan kehilangan kehormatan.
Jika memang benar Indonesia adalah bangsa yang besar, seharusnya bangsa Indonesia malu pada bendera merah putih yang dikibarkan satu tiang penuh yang menandakan bahwa Indonesia adalah bangsa dan negara yang merdeka dan berdaulat, akan tetapi saat kedaulatan bangsa dan negara Indonesia dilecehkan, bangsanya terkesan hanya diam saja. Tidakah bangsa Indonesia tersindir dengan lagu-lagu perjuangan yang sering dinyanyikan pada momen-momen tertentu, yang mana lagu-lagu tersebut mencerminkan jati diri dan  krakteristik bangsa yang memiliki rasa nasionalisme dan jiwa rela berkorban yang tinggi untuk tanah airnya, akan tetapi ketika tanah air Indnesia dilecehakan, bangsanya seakan tidak melakukan apapun bak patung di taman kota.
Seandainya para pahlawan bangsa yang sudah wafat bisa melihat kondisi bangsa indnesia seperti sekarang, mereka akan berkata “Tolong kibarkan bendera setengah tiang saja, karena kami yang mengerek bendera tersebut menjadi satu tiang penuh dengan mengorbankan harta-benda, jiwa raga dan segala-galanya sehingga harus hidup menderita dalam jangka waktu yang sangat lama sekarang sedang dirundung duka, sebab hasil perjuagan kami tidak dihargai oleh anak cucu kami sendiri. Selain itu, tolong jangan lagi nyanyikan lagu-lagu nasional karena anak cucu kami sudah tidak memiliki jati diri dan karakteristik yang sesuai dengan semangat lagu-lagu tersebut”. 
Berdasarkan reaita yang demikian, kita tidak berbicara hitungan matematis, kita berbicara martabat dan harga diri yang tidak bisa di tawar-tawar atau harga mati. Sudah saatnya sekarang Indonesia menentukan, apakah mau hidup menanggung malu dengan wajah tertunduk di hadapan bangsa lain dan menjadi bangsa yang durhaka terhadap neneng moyangnya, ataukah menjadi bangsa yang tau berbakti kepada para pahawan revolusi dengan menegakan kedaulatan, membela harga diri dan martabat bangsa, mengangkat kepala dengan tegak dan dipandang terhormat oleh bangsa lain di dunia Internasional? Jawablah wahai Indonesia, jika memang benar masih punya harga diri maka disaat bumi nusantara di diganggu dan dilecehkan jangan hanya bisa tertidiam tapi lakukanah tindakan-tindakan yang tegas dan kongkrit demi tegaknya martabat bangsa dan menjaga para pewaris negeri tidak menyesal menitipkan hasil perjuangannya kepada kita.

1 komentar:

  1. kalo indonesia sudah mulai kehilangan sedikit demi sedikit kedaulatannya, maka siapa yang harus disalahkan sbg cermin untuk mmperbaiki diri?? pemerintah ato bangsaya sndri pak??

    BalasHapus